Fiqh Puasa: Apa Saja yang Membatalkan Puasa?
http://bagaimana-islam.blogspot.com/2015/06/fiqh-puasa-apa-saja-yang-membatalkan.html
Assalamualaikum wr.. wb. ikhwah wa akhwat yang dirahmati Allah SWT. Selamat datang di blog sederhana ini. Blog ini dibuat untuk berbagi seputar dunia islam, tulisan di blog ini bukan tulisan saya pribadi, karena saya bukan orang yang berkafaah dalam hal syar'i jadi saya mengutip dari berbagai web-web islam yang ada. Dan akan saya sertakan sumber dari tulisan diblog ini sebagai bentuk tanggung jawab referensi yang saya pakai.
Nah, artikel kali ini kita akan membahas mengenai hal-hal apa saja yang dapat membatalkan puasa, mengingat puasa merupakan sauatu amalan yang sangat luar biasa disisi Allah SWT. Bahkan Allah sendiri yang mengatakan bahwa amalan hambaKu adalah untuk dirinya, sementara puasa alaha untuk Aku, kata Allah SWT.
Nah, kita perlu mengatahui hal-hal yang membatalkan puasa agar puasa kita bisa sempurna dan kita tidak melakukan hal yang membatalkan puasa tersebut. Berikut ini adalah penjelasannya:
Hal-Hal yang Dianggap Membatalkan Puasa
Ada sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara
kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antaranya memang ada
yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama,
namun ada pula hanya sekedar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak
dibangun di atas dalil.
Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh
sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak
demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar
diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan pertama dari penerbit
Adhwaa’ As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti
Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih
Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.
Di antara faidah yang bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:
1. Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan
lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, maka tidaklah batal
puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya seperti
orang yang menjalankan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin
bahwa waktu fajar belum tiba. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullah setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal
puasa, berkata: “Dan pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun
tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya,
ingat (tidak dalam keadaan lupa) dan bermaksud melakukannya (bukan
karena terpaksa).” Kemudian beliau rahimahullah membawakan beberapa
dalil, di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah k telah
mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Ya Allah janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (Al-Baqarah: 286)
(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).
Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat An-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426-428)
(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).
Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat An-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426-428)
Dan yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah adalah
apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak
mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor
atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya
adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi
yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz t di
dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)
2. Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:
“Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada
kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang
muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” (HR.
Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh
As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Al-Irwa’ no. 930)
Oleh karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa,
sebaiknya tidak berusaha memuntahkan apa yang ada dalam perutnya dengan
sengaja, karena hal ini akan membatalkan puasanya. Dan jangan pula dia
menahan muntahnya karena inipun akan berakibat negatif bagi dirinya.
Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut
tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)
3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah:
“Tidak mengapa untuk menelan ludah dan saya tidak melihat adanya
perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk
dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak maka wajib untuk
diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi
orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk
dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”
4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka atau karena
keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit tidaklah membatalkan puasa.
Berkata Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam beberapa fatwanya:
a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak ditelan…”.
b. “Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa yaitu
pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan
karena keinginannya maka tidak apa-apa…”.
c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak apabila berakibat
dengan akibat yang sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan
lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan
berbekam (yaitu batal puasanya)…” (Fatawa Ramadhan, 2/460-466).
Maka orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena
dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia
tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula
orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan
darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan
dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal
tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu
mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).
Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah
ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan
pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya
dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan
jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia
boleh melakukannya di siang hari dan yang lebih hati-hati adalah agar
dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.
5. Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan
puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda
halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi
sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau
telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat
tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat apakah
mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan
hidung, ataukah bukan. Namun wallahu a’lam yang benar adalah bahwa
keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan.
Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan
puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak
mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan.
(Fatawa Ramadhan, 2/510-511).
6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa apabila tidak
sampai keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi.
Rasulullah n bersabda dalam sebuah hadits shahih yang artinya:
“Dahulu Rasulullah n mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab Al-Irwa, hadits no. 934)
“Dahulu Rasulullah n mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab Al-Irwa, hadits no. 934)
Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“(orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” (Shahih HR. Muslim)
Dan juga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR.
At-Tirmidzi dan An-Nasai, dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan
shahih.” Dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di
Al-Irwa)
7. Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar
rumah dengan memakai wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari
suatu asap atau semisalnya, maka tidak boleh untuk menghirupnya atau
menghisapnya. Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan
pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tidak ada yang
tertelan ke dalam tenggorokan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya
untuk berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu kuat
agar tidak ada air yang tertelan atau terhisap. Namun seandainya ada
yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, maka tidak membatalkan
puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa, hadits no. 935).
“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa, hadits no. 935).
8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan
badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh
pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang
tertelan ke tenggorokan.
9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga
jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana
disebutkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu dalam sebuah atsar:
“Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang
dia akan membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani
rahimahullah di Al-Irwa no. 937)
Demikian beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para
ulama. Yang paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentu telah menjelaskan seluruh
hukum-hukum yang ada dalam syariat Islam ini. Maka, kita tidak boleh
menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan
semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al Qur`an dan As
Sunnah dan penjelasan para ulama.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc, judul asli
Hal-Hal yang Dianggap Membatalkan Puasa. URL sumber
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=298)
(Sumber: http://salafy.or.id/blog/2008/08/17/hal-hal-yang-dianggap-membatalkan-puasa/)
7 Hal Pembatal Puasa
Pertama: Jima’, yaitu masuknya dzakar ke dalam farji. Ini adalah pembatal yang dosanya paling besar.
- Kapan saja seorang yang berpuasa melakukan hubungan dengan isterinya maka puasanya batal, baik itu puasa wajib atau puasa sunnah.
- Jika hal itu dilakukan di siang hari ramadhan dan puasanya adalah puasa wajib, maka harus diganti dan membayar kaffaroh mugholazhoh; yaitu membebaskan budak, jika tidak menemukan budak bisa dengan puasa dua bulan berturut-turut, tidak boleh bolong walaupun satu hari selama dua bulan tersebut kecuali ada udzur syar’i seperti bertepatan dengan hari ‘Iedul Fithri, I’edul Adha, dan hari tasyriq yang ada larangan berpuasa. Atau karena udzur hissi, seperti jatuh sakit atau safar yang tidak dibuat-buat hanya untuk berbuka. Tetapi bila dia berbuka tanpa udzur walaupun satu hari saja maka harus mengulang dari awal lagi.
Apabila tidak mampu berpuasa selama dua
bulan berturut-turut maka dengan memberi makan enam puluh orang miskin.
Setiap orang miskin mendapat jatah setengah kilo sepuluh gram gandum
yang baik. Boleh juga dengan beras tapi harus disesuaikan timbangannya,
jika beras jenis barangnya lebih berat dari gandum maka ditambahkan
takarannya sesuai dengan gandum, jika lebih ringan maka dikurangi
takarannya. Dalam sebuah hadits, bahwasanya ada seorang shahabat yang
telah melakukan hubungan dengan isterinya di (siang) ramadhan. Lalu dia
meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka
beliau berkata, “Apakah kamu mendapati budak (untuk dibebaskan)?” orang
tadi menjawab, tidak ada. Beliau melanjutkan, “apakah kamu mampu
berpuasa dua bulan (berturut-turut)?” orang tadi menjawab, tidak mampu.
Kemudian beliau berkata, “kalau begitu berilah makan enam puluh orang
miskin.” (HR. Muslim)
Kedua: Keluar mani dengan
kehendaknya, baik disebabkan ciuman, sentuhan, masturbasi, atau yang
lainnya. Karena semua itu adalah syahwat yang mana puasa tidak akan
teranggap kecuali dengan menjauhinya. Hal ini Sebagaimana dalam hadits
qudsi, “Dia meninggalkan makannya, minumnya, dan syahwatnya hanya karena Aku.” (HR. Al-Bukhari) adapun ciuman dan sentuhan yang tidak sampai mengeluarkan mani maka tidak membatalkan puasa, berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha, “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mencium
(isterinya) ketika berpuasa dan mencumbu ketika berpuasa. Namun beliau
adalah orang yang paling bisa menahan syahwatnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dan dari Umar bin Abi Salamah bahwasanya beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Apakah seorang yang berpuasa boleh mencium (isterinya)? Beliau menjawab, “Tanya kepada orang ini” maksud beliau adalah Ummu Salamah. Maka Ummu Salamah mengkhabarkan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah
melakukan hal itu. Lantas pria tadi berkata, Wahai Rasulullah! Sungguh
Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. Maka
beliau menjawab, “Adapun Demi Allah. Aku adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah di antara kalian semua.” (HR. Muslim)
- Apabila seorang yang berpuasa khawatir atas dirinya jika melakukan hal itu akan mengeluarkan mani (Inzal), atau bisa menjerumuskannya kepada perbuatan jima’ disebabkan tidak ada kemampuan mengekang syahwatnya, maka mencium atau yang sejenisnya adalah haram dalam rangka menutup cela terjadinya hal itu dan menjaga puasanya dari kerusakan. Yang semisal dengan ini adalah perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bagi seorang yang berwudhu’ agar bersungguh-sungguh dalam melakukan istinsyaq (memasukan air ke dalam hidung) kecuali jika dalam keadaan berpuasa karena dikhawatirkan air bisa masuk ke tenggorokannya.
- Adapun Inzal (keluar mani) karena bermimpi atau berfikir tanpa ada aktivitas maka tidak membatalkan puasa. Karena bermimpi bukan kehendak orang tersebut, sedangkan berfikir adalah sesuatu yang dimaafkan. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Sesungguhnya Allah telah memaafkan dari umatku apa yang terbetik di dalam hatinya, selama hal itu belum direalisasikan dalam bentuk amalan atau perbuatan.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ketiga: Makan dan minum, yaitu
sampainya makanan dan minuman ke tenggorokan melalui mulut dan hidung,
dalam bentuk apapun makanan dan minuman itu. Hal ini berdasarkan firman
Allah Ta’ala,
{وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر ثم أتموا الصيام إلى الليل}
“Dan makan minumlah hingga terang bagi
kalian benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (QS. Al-Baqarah: 187)
Dan sa’uth (obat yang dimasukkan ke hidung) masuk dalam kategori makan dan minum, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam hadits Laqith bin Sabirah, “Dan bersungguhlah engkau dalam beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) kecuali bila dalam keadaan puasa.” (Diriwayatkan oleh yang lima dan dishahihkan At-Tirmidzi)
- Adapun mencium aroma-aroma tidak membatalkan puasa.
Keempat: Sesuatu yang bermakna makan dan minum, yaitu ada dua:
- Transfusi darah. Seperti seorang yang berpuasa mengalami perdarahan hebat sehingga membutuhkan transfusi darah. Yang seperti ini membatalkan puasa, karena darah adalah energi puncak dari makan dan minum. (Syaikh Al-Utsaimin berkata, ini adalah pendapat yang dahulu aku pegang. Kemudian tampak bagiku bahwa transfusi darah tidak membatalkan puasa, karena tidak masuk dalam kategori makan minum dan yang semakna dengannya. Hukum asal adalah tetapnya puasa hingga jelas ada sesuatu yang merusaknya.)
- Suntik infus. Seorang yang diinfus tidak akan butuh kepada makan dan minum. Ini juga membatalkan puasa. Karena walaupun infus tidak disebut makan dan minum, tetapi ia masuk dalam kategori keduanya, sehingga hukumnya juga sama.
Adapun suntik biasa tidak membatalkan
puasa, baik disuntik melalui otot atau uratnya. Walaupun didapati ada
rasa panas ditenggorokannya tetap tidak membatalkan puasa. Karena hal
itu tidak disebut makan dan minum atau semakna dengan keduanya, sehingga
hukumnya berbeda. Dan tidak menjadi masalah dengan didapatinya rasa di
tenggorokan dari selain makan dan minum. Oleh karena itu para fuqoha’
kita berkata, “Seandainya dia melumuri telapak kakinya dengan buah hanzhol (sejenis labu yang pahit rasanya) dan dia mendapati rasanya di tenggorokan, tidak membatalkan puasa.”
Kelima: Keluar darah dengan bekam. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Telah batal puasa orang yang membekam dan yang dibekam.” (HR. Ahmad)
ini adalah pendapat Al-Imam Ahmad dan kebanyakan fuqoha’ belakangan.
Dan semakna dengan bekam ini adalah donor darah dan sejenisnya yang
memiliki pengaruh terhadap tubuh seperti halnya bekam. Oleh karenanya,
tidak boleh bagi seorang yang berpuasa dengan puasa wajib mengeluarkan
darahnya untuk didonor dengan jumlah yang banyak yang berpengaruh
terhadap tubuhnya, kecuali dalam keadaan darurat yang tidak bisa
dilakukan kecuali dengan mengambil darahnya dan tidak memudharatkan
orang yang berpuasa, maka diperbolehkan karena darurat, dan puasanya
batal dan diganti di hari yang lain.
- Adapun keluarnya darah disebabkan mimisan, batuk, penyakit bawasir, cabut gigi, luka, untuk tes laboratorium, tusukan suntik, dan yang sejenisnya maka tidak membatalkan puasa, karena semua itu bukan termasuk bekam yang dapat mempengaruhi kondisi tubuh seseorang.
Keenam: Muntah dengan sengaja,
yaitu mengeluarkan apa yang ada di lambung berupa makanan atau minuman
dari mulut. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
«من ذرعه القيء فليس عليه قضاء ومن استقاء عمدا فليقض»
“Barangsiapa terkalahkan oleh muntah
(muntah tanpa sengaja) maka tidak ada qadha’ atasnya. Dan barangsiapa
yang muntah dengan sengaja hendaknya dia mengqadha’.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima)
Muntah yang disengaja membatalkan puasa,
biasanya dilakukan dengan mengurut perutnya, merogoh tenggorokannya,
mencium aroma tertentu atau melihat sesuatu yang dapat membuatnya
muntah, maka semua itu membatalkan puasa. Sedangkan muntah yang terjadi
tanpa sebab maka tidak membatalkan puasa. Seandainya dia merasakan ada
yang tidak beres dengan lambungnya sehingga akan muntah, maka jangan
ditahan. Karena seandainya dia muntah tidak akan membatalkan puasanya,
dengan catatan harus dibiarkan, jangan dimuntahkan dan jangan ditahan.
Ketujuh: Keluar darah haid dan darah nifas. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Bukankah wanita apabila sedang haid tidak shalat dan tidak puasa?”
kapan saja seorang wanita melihat darah haid atau darah nifas, maka
puasanya batal, baik hal itu terjadi di siang hari atau di sore hari,
bahkan walaupun beberapa saat sebelum maghrib.
- Jika seorang wanita merasakan ada darah yang akan keluar dan baru terlihat setelah masuknya waktu maghrib maka puasanya sah dan tidak perlu menqadha.
Haram bagi seorang yang berpuasa
wajib seperti ramadhan, kaffaroh, dan nadzar melakukan pembatal-pembatal
yang telah disebutkan di atas kecuali bila ada udzur yang syar’i
seperti sedang safar, sedang sakit, atau udzur lainnya. Karena seorang
yang sedang melakukan sesuatu yang wajib harus disempurnakan hingga
selesai kecuali bila ada udzur yang dibenarkan.
Apabila pembatal-pembatal tersebut
dilakukan di siang hari ramadhan tanpa udzur yang dibenarkan, maka wajib
baginya untuk menahan diri dari melakukan pembatal puasa di hari
tersebut. Jika berbukanya karena udzur yang dibenarkan, maka tidak
diharuskan menahan diri. Adapun bila puasanya adalah puasa sunnah,
dibolehkan baginya berbuka walaupun tanpa udzur, namun yang lebih utama
adalah menyempurnakannya.
Pembatal Puasa yang Masih Diperselisihkan
1. Maksiat.
Imam Al-Auzai berpendapat bahwa gibah itu membatalkan puasa, sementara
Ibnu Hazm menyatakan bahwa semua maksiat itu sama hukumnya dengan gibah,
yaitu membatalkan puasa.
Keduanya berdalil dengan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ اَلزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ, وَالْجَهْلَ, فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan beramal
dengannya serta kejahilan, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan
makanan dan minumannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1903)
Juga hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Betapa banyak orang yang berpuasa sedang dia tidak mendapatkan bagian dari puasanya kecuali haus.” (HR. An-Nasai dan Ahmad)
Juga hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Betapa banyak orang yang berpuasa sedang dia tidak mendapatkan bagian dari puasanya kecuali haus.” (HR. An-Nasai dan Ahmad)
Sementara seluruh ulama lainnya berpandapat bahwa maksiat tidak membatalkan puasa, dan inilah pendapat yang benar. Adapun pendalilan mereka dengan kedua hadits di atas, maka An-Nawawi telah mejawabnya dalam Al-Majmu’ (6/356), “Teman-teman semazhab kami telah menjawab hadits-hadits ini: Bahwa yang dimaksudkan dengan hadits ini adalah bahwa kesempurnaan puasa dan keutamaannya yang dicari, itu hanya bisa didapatkan dengan menjaga lisan dari ucapan sia-sia dan ucapan yang rendah, tidak menunjukkan bahwa puasanya batal.”
2. Makan dan minum dalam keadaan lupa.
Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini:
a. Puasanya syah dan tidak batal. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, juga merupakan mazhab Imam Ahmad dan Asy-Syafi’i.
a. Puasanya syah dan tidak batal. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, juga merupakan mazhab Imam Ahmad dan Asy-Syafi’i.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda:
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ
“Barangsiapa yang lupa sedang dia tengah berpuasa, lantas dia
makan atau minum, maka hendaknya dia menyempurnakan puasanya, karena dia
hanya diberi makan dan minum oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155)
Dalam hadits ini Nabi menyuruh untuk menyempurnakan puasanya dan tidak memerintahkannya untuk membayar qadha`, ini menunjukkan puasanya syah. Demikian diterangkan oleh Ibnu Taimiah dalam Kitab Ash-Shiyam (1/457-458)
b. Puasanya batal dan dia wajib membayar qadha. Ini adalah pendapat Malik dan Rabiah, gurunya.
Mereka mengatakan: Karena menahan dari pembatal puasa adalah rukun puasa sementara rukun kalau ditinggalkan maka akan membatalkan ibadah, baik sengaja maupun lupa. Dalam hal ini mereka mengkiaskannya kepada shalat.
Yang kuat adalah pendapat yang pertama. Adapun kias pendapat kedua maka dia adalah kias yang batil karena bertentangan dengan dalil.
Catatan:
Walaupun tidak membatalkan puasanya, akan tetapi siapa yang melihat orang yang sedang berpuasa makan karena lupa, maka hendaknya dia menegurnya dan mengingatkannya, berdasarkan keumuman dalil amar ma’ruf dan nahi mungkar. Lihat kitab Al-Furu’ (3/53)
3. Melakukan jima’ bukan pada kemaluan.
Maksudnya dia menyentuhkan kemaluannya pada bagian tubuh istrinya
(selain kemaluan) -misalnya di antara dua pahanya-, maninya keluar
maupun tidak.
Ada tiga pendapat dalam masalah ini:
1. Itu membatalkan puasanya dan dia wajib membayar kaffarah.
Ini adalah pendapat Malik, Atha`, Al-Hasan, Ibnul Mubarak, Ishaq, dan salah satu riwayat dari Ahmad.
2. Itu membatalkan puasanya akan tetapi tidak ada kewajiban kaffarah.
Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, dan riwayat lain dari Ahmad.
Mereka mengatakan: Karena ini bukanlah jima’ yang sempurna sehingga dikiaskan dengan mencium, dan tidak ada dalil akan wajibnya kaffarah. Ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.
3. Tidak membatalkan puasanya walaupun maninya keluar. Ibnu Muflih menyebutkan kemungkinan pendapat ini dalam Al-Furu’ dan kelihatannya beliau condong kepada pendapat ini.
Telah berlalu bahwa ini adalah pendapat Ibnu Hazm.
Yang rajih adalah pendapat ketiga, ini yang dirajihkan oleh Ash-Shan’ani dan Syaikh Al-Albani.
Hal itu karena tidak ada dalil yang menyatakan perbuatan ini adalah pembatal puasa. Adapun mengkiaskannya dengan jima’, maka kias ini kurang detail, karena adanya perbedaan antara jima’ dengan kasus di atas.
Ada tiga pendapat dalam masalah ini:
1. Itu membatalkan puasanya dan dia wajib membayar kaffarah.
Ini adalah pendapat Malik, Atha`, Al-Hasan, Ibnul Mubarak, Ishaq, dan salah satu riwayat dari Ahmad.
2. Itu membatalkan puasanya akan tetapi tidak ada kewajiban kaffarah.
Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, dan riwayat lain dari Ahmad.
Mereka mengatakan: Karena ini bukanlah jima’ yang sempurna sehingga dikiaskan dengan mencium, dan tidak ada dalil akan wajibnya kaffarah. Ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.
3. Tidak membatalkan puasanya walaupun maninya keluar. Ibnu Muflih menyebutkan kemungkinan pendapat ini dalam Al-Furu’ dan kelihatannya beliau condong kepada pendapat ini.
Telah berlalu bahwa ini adalah pendapat Ibnu Hazm.
Yang rajih adalah pendapat ketiga, ini yang dirajihkan oleh Ash-Shan’ani dan Syaikh Al-Albani.
Hal itu karena tidak ada dalil yang menyatakan perbuatan ini adalah pembatal puasa. Adapun mengkiaskannya dengan jima’, maka kias ini kurang detail, karena adanya perbedaan antara jima’ dengan kasus di atas.
Adapun sekedar karena keluarnya mani, maka para ulama sepakat bahwa melakukan jima’ itu membatalkan puasa walaupun tidak ada mani yang keluar. Maka ini menunjukkan patokan pembatal puasa adalah perbuatan jima’, bukan keluarnya mani.
Adapun sekedar karena adanya syahwat, maka kita katakan adanya syahwat tidak cukup untuk menghukumi batalnya puasa seseorang, sebagaimana yang akan datang bahwa orang yang mencium istrinya karena syahwat tidaklah membatalkan puasanya.
Jadi, yang benar pada kasus di atas puasanya tidak batal, akan tetapi puasanya makruh bahkan dikhawatirkan dia kehilangan pahala puasanya -walaupun puasanya syah-, wallahu a’lam.
[Al-Mughni: 3/26, Al-Inshaf: 3/284, Syarh Kitab Ash-Shiyamk: 1/302, dan Al-Majmu’: 6/342]
4. Sisa makanan pada gigi atau yang ikut pada ludah.
Dalam hal ini ada dua keadaan:
Jika dia tidak bisa untuk mengeluarkannya atau tanpa sengaja menelannya maka para ulama sepakat bahwa hal itu tidak mengapa, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnul Mundzir. Lihat Al-Majmu’ (6/320)
Jika dia bisa mengeluarkannya tapi dia menelannya, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa itu membatalkan puasanya karena itu dianggap memakan makanan. Sementara Abu Hanifah berpendapat hal itu tidak membatalkan puasa, dan ucapannya ini tidak berlandaskan dalil.
Jika dia tidak bisa untuk mengeluarkannya atau tanpa sengaja menelannya maka para ulama sepakat bahwa hal itu tidak mengapa, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnul Mundzir. Lihat Al-Majmu’ (6/320)
Jika dia bisa mengeluarkannya tapi dia menelannya, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa itu membatalkan puasanya karena itu dianggap memakan makanan. Sementara Abu Hanifah berpendapat hal itu tidak membatalkan puasa, dan ucapannya ini tidak berlandaskan dalil.
5. Menelan dahak atau ingus dan semacamnya.
Dalam hal ini ada dua keadaan:
a. Jika dia tidak keluar ke mulut, akan tetapi dari otak atau hidung langsung ke lambung maka hal itu tidak membatalkan puasa, sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi.
b. Jika dia keluar ke mulut lalu sengaja tertelan, maka ada dua pendapat di kalangan ulama:
1. Membatalkan puasanya. Ini yang masyhur dalam mazhab Al-Hanabilah dan merupakan mazhab Asy-Syafi’iyah. Mereka mengatakan karena apa yang ada dalam mulut dihukumi sama seperti apa yang datang dari luar. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah-.
2. Tidak membatalkan puasanya. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad. Mereka mengatakan karena dia tidak keluar dari mulut sehingga tidak bisa dikatakan makan dan minum. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muqbil dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumallah-.
Kami katakan: Untuk keluar dari khilaf, hendaknya dia membuangnya dan tidak sengaja menelannya, wallahu a’lam.
a. Jika dia tidak keluar ke mulut, akan tetapi dari otak atau hidung langsung ke lambung maka hal itu tidak membatalkan puasa, sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi.
b. Jika dia keluar ke mulut lalu sengaja tertelan, maka ada dua pendapat di kalangan ulama:
1. Membatalkan puasanya. Ini yang masyhur dalam mazhab Al-Hanabilah dan merupakan mazhab Asy-Syafi’iyah. Mereka mengatakan karena apa yang ada dalam mulut dihukumi sama seperti apa yang datang dari luar. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah-.
2. Tidak membatalkan puasanya. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad. Mereka mengatakan karena dia tidak keluar dari mulut sehingga tidak bisa dikatakan makan dan minum. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muqbil dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumallah-.
Kami katakan: Untuk keluar dari khilaf, hendaknya dia membuangnya dan tidak sengaja menelannya, wallahu a’lam.
6. Infus
Jika infusnya dimasukkan melalui urat nadi atau otot maka: Jika infusnya
berupa makanan atau sesuatu yang bisa menguatkan fisiknya maka itu
membatalkan puasanya. Kalau bukan maka puasanya tetap syah. Ini adalah
pendapat yang difatwakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah-.
Lihat Tuhfatul Ikhwan hal 175
Adapun jika infusnya dimasukkan melalui hidung lalu diteruskan ke otak maka dalam hal ini ada tiga mazhab di kalangan ulama:
a. Jika dia sampai ke otak maka itu membatalkan puasanya. Karena semua yang sampai ke otak pasti akan sampai ke lambung atau ke tenggorokan, mengingat antara otak dan lambung ada saluran yang menyambungkannya.
Ini adalah pendapat Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah -rahimahullah-.
b. Tidak membatalkan puasa kecuali diyakini dia masuk ke tenggorokan. Ini adalah pendapat Imam Malik.
c. Tidak membatalkan puasa secara mutlak. Ini adalah pendapat Ibrahim dan Ibnu Hazm.
Yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumallah- adalah pendapat yang kedua.
Lihat Tuhfatul Ikhwan hal 175
Adapun jika infusnya dimasukkan melalui hidung lalu diteruskan ke otak maka dalam hal ini ada tiga mazhab di kalangan ulama:
a. Jika dia sampai ke otak maka itu membatalkan puasanya. Karena semua yang sampai ke otak pasti akan sampai ke lambung atau ke tenggorokan, mengingat antara otak dan lambung ada saluran yang menyambungkannya.
Ini adalah pendapat Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah -rahimahullah-.
b. Tidak membatalkan puasa kecuali diyakini dia masuk ke tenggorokan. Ini adalah pendapat Imam Malik.
c. Tidak membatalkan puasa secara mutlak. Ini adalah pendapat Ibrahim dan Ibnu Hazm.
Yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumallah- adalah pendapat yang kedua.
7. Onani.
Imam Empat dan mayoritas ulama berpendapat bahwa onani membatalkan
puasa, karena dia dihukumi tidak meninggalkan syahwatnya. Ini yang
dikuatkan oleh Asy-Syaukani, Syaikh Ibnu Baz, dan Syaikh Ibnu
Al-Utsaimin.
Sementara Ibnu Hazm berpendapat bahwa itu tidak membatalkan puasa karena tidak adanya dalil yang menunjukkan batalnya. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan Syaikh Al-Albani -rahimahumullah-.
Wallahu a’lam, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat Ibnu Hazm, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas sekedar keluarnya mani bukanlah pembatal puasa -walaupun puasanya makruh-. Kembali ke hukum asal, puasa seseorang tidaklah batal kecuali ada dalil tegas yang menyatakannya.
Sementara Ibnu Hazm berpendapat bahwa itu tidak membatalkan puasa karena tidak adanya dalil yang menunjukkan batalnya. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan Syaikh Al-Albani -rahimahumullah-.
Wallahu a’lam, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat Ibnu Hazm, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas sekedar keluarnya mani bukanlah pembatal puasa -walaupun puasanya makruh-. Kembali ke hukum asal, puasa seseorang tidaklah batal kecuali ada dalil tegas yang menyatakannya.
8. Bermesraan atau mencium atau memandang wanita.
Dalam hal ini ada dua keadaan:
a. Jika hal itu menyebabkan keluarnya mani atau madzi.
Ada beberapa pendapat dalam masalah ini:
1. Dia mengqadha kalau keluar maninya bukan karena memandang (yakni karena mencium atau bermesraan). Jika hanya keluar madzi maka tidak ada qadha.
Ini adalah pendapat para ulama Kufah dan Imam Asy-Syafi’i.
2. Jika yang keluar mani (karena salah satu dari tiga sebab di atas) maka dia mengqadha sekaligus bayar kaffarah. Tapi jika yang keluar madzi maka dia hanya mengqadha.
Ini adalah pendapat Imam Malik dan Ishaq bin Rahawaih. Yang dijadikan dalil bagi pendapat mereka adalah bahwa keluarnya mani merupakan puncak tujuan dari jima’, sementara jima mengharuskan membayar kaffarah.
3. Tidak ada kewajiban qadha` atasnya dan tidak pula kaffarah.
Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm dan yang dikuatkan oleh Ash-Shan’ani tatkala beliau mengatakan, ”Yang nampak, tidak ada qadha` dan tidak pula kaffarah kecuali atas orang yang melakukan jima’. Mengikutkan perbuatan selain jima’ kepadanya (jima’) adalah hal yang tidak tepat.”
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang terakhir, ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Albani -rahimahullah-.
Adapun pendapat pertama, mereka tidak mempunyai dalil atas pembedaan hukum yang mereka sebutkan. Sedangkan dalil pendapat kedua terbantahkan dengan kenyataan bahwa orang yang melakukan jima’ tetap wajib membayar kaffarah walaupun tidak ada mani yang keluar, wallahu a’lam.
b. Jika hal itu tidak menyebabkan keluarnya mani atau madzi.
Dalam masalah ini ada lima pendapat di kalangan ulama:
a. Jika hal itu menyebabkan keluarnya mani atau madzi.
Ada beberapa pendapat dalam masalah ini:
1. Dia mengqadha kalau keluar maninya bukan karena memandang (yakni karena mencium atau bermesraan). Jika hanya keluar madzi maka tidak ada qadha.
Ini adalah pendapat para ulama Kufah dan Imam Asy-Syafi’i.
2. Jika yang keluar mani (karena salah satu dari tiga sebab di atas) maka dia mengqadha sekaligus bayar kaffarah. Tapi jika yang keluar madzi maka dia hanya mengqadha.
Ini adalah pendapat Imam Malik dan Ishaq bin Rahawaih. Yang dijadikan dalil bagi pendapat mereka adalah bahwa keluarnya mani merupakan puncak tujuan dari jima’, sementara jima mengharuskan membayar kaffarah.
3. Tidak ada kewajiban qadha` atasnya dan tidak pula kaffarah.
Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm dan yang dikuatkan oleh Ash-Shan’ani tatkala beliau mengatakan, ”Yang nampak, tidak ada qadha` dan tidak pula kaffarah kecuali atas orang yang melakukan jima’. Mengikutkan perbuatan selain jima’ kepadanya (jima’) adalah hal yang tidak tepat.”
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang terakhir, ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Albani -rahimahullah-.
Adapun pendapat pertama, mereka tidak mempunyai dalil atas pembedaan hukum yang mereka sebutkan. Sedangkan dalil pendapat kedua terbantahkan dengan kenyataan bahwa orang yang melakukan jima’ tetap wajib membayar kaffarah walaupun tidak ada mani yang keluar, wallahu a’lam.
b. Jika hal itu tidak menyebabkan keluarnya mani atau madzi.
Dalam masalah ini ada lima pendapat di kalangan ulama:
1. Boleh.
Pendapat ini dinukil dengan sanad yang shahih dari Abu Hurairah dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (3/60) dan (4/185) dan dishahihkan oleh Ibnu Hazm. Hanya saja Ibnu Hazm terlalu berlebihan hingga menyatakan sunnahnya.
Mereka berdalil dengan 3 hadits dari: Hafshah, Aisyah, dan Ummu Salamah, dimana dalam ketiga hadits ini disebutkan bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- mencium istrinya sedang beliau berpuasa. Hadits Aisyah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim sedang dua lainnya diriwayatkan oleh Muslim.
2. Haram.
Bahkan sebagian ulama -seperti Abdullah bin Syubrumah- berpendapat bahwa itu membatalkan puasa. Pendapat ini juga dibawakan dari Said bin Al-Musayyab.
Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, ”Maka sekarang (setelah malam), sentuhlah mereka (istri kalian).” (QS. Al-Baqarah: 187)
Mereka menjawab hadits-hadits yang membolehkan bahwa itu hukum itu hanya khusus berlaku untuk Nabi -shallallahu alaihi wasallam-.
3. Makruh secara mutlak.
Ini adalah pendapat yang masyhur dalam mazhab Al-Malikiah.
Mereka mengatakan karena perbuatan ini merupakan wasilah terjadinya hal yang diharamkan. Adapun hadits-hadits yang membolehkan, mereka juga menjawabnya seperti jawaban pendapat kedua.
4. Makruh bagi pemuda dan boleh bagi yang sudah tua.
Dalil yang dijadikan pendukung bagi pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah dia berkata, ”Ada seorang lelaki yang mendatangi Nabi -shallallahu alaihi wasallam- lalu bertanya kepada beliau tentang ’menyentuh’ istri bagi orang yang berpuasa, maka beliau memberikannya keringanan. Dan ada orang lain yang datang kepada beliau dan menanyakan hal yang sama maka beliau melarangnya. Ternyata yang beliau berikan keringan adalah seorang yang tua, sementara yang beliau larang adalah seorang pemuda.”
Sanadnya shahih. Adapun rawi dalam sanadnya yang bernama Abul Anbas Al-Harits bin Ubaid, maka dia telah dinyatakan tsiqah (terpercaya) oleh Ibnu Main sebagaimana dalam Tarikh Ad-Darimi. Karenanya hukum majhul yang dilontarkan sebagian ulama kepadanya tidaklah tepat.
5. Jika dia bisa menguasai syahwatnya maka boleh, dan jika tidak bisa maka tidak boleh.
Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i dan Ats-Tsauri. Mereka berdalilkan hadits Aisyah:
كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ
”Adalah Rasulullah mencium dalam keadaan berpuasa dan beliau
’menyentuh’ dalam keadaan berpuasa, hanya saja beliau adalah orang yang
paling kuat menahan hasratnya di antara kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106)
Terlarangnya orang yang tidak bisa menguasai dirinya karena hal itu bisa membahayakan puasanya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil pendapat keempat.
Terlarangnya orang yang tidak bisa menguasai dirinya karena hal itu bisa membahayakan puasanya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil pendapat keempat.
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang kelima. Dan kalaupun dia melakukannya padahal dia tidak bisa menguasai dirinya maka puasanya tidaklah batal sampai dia melakukan jima’.
Pendapat pertama terbantahkan dengan dalil pendapat keempat dan kelima.
Pendapat kedua dan ketiga terbantahkan dengan dalil pendapat pertama, keempat, dan kelima. Adapun ayat yang mereka pakai berdalil, maka dikatakan: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- sebagai penjelas Al-Qur`an telah mencium istrinya di siang hari, maka ini menunjukkan bahwa ’menyentuh’ dalam ayat itu bermakna lebih khusus yaitu jima’.
Adapun klaim mereka bahwa hukum boleh itu hanya berlaku untuk Nabi saja, maka terbantahkan dengan hadits Umar bin Abi Salamah bahwa dia bertanya kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, ”Apakah orang yang berpuasa boleh mencium?” maka beliau menjawab, ”Tanya dia,” maksudnya Ummu Salamah. Maka Ummu Salamah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- melakukannya. Umar berkata, ”Wahai Rasulullah, Allah telah mengampuni semua dosamu yang terdahulu dan belakangan,” maka beliau menjawab, ”Ketahuilah, demi Allah sungguh saya adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah di antara kalian.” (HR. Muslim).
Mirip dengan hadits seorang lelaki dari Al-Anshar mencium istrinya lalu setelah itu dia menyuruh istrinya untuk menanyakan masalah ini kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-. Setelah bertanya, istrinya mengabarkan bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- melakukannya. Maka dia berkata, ”Sesungguhnya Nabi telah diberikan keringan pada beberapa perkara maka kembalilah bertanya kepada beliau.” Maka istrinya kembali menanyakannya maka Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, ”Saya adalah orang yang paling bertakwa dan yang paling tahu tentang batasan-batasan Allah di antara kalian.” (HR. Ahmad: 5/434 dan dishahihkan oleh Al-Wadi’i dalam Ash-Shahih).
Adapun pendapat keempat maka dijawab: Masalah syahwat adalah bersifat nisbi, tidak ada hubungannya dengan masalah umur. Terkadang ada orang tua yang syahwatnya lebih besar daripada pemuda dan sebaliknya. Juga terbantahkan dengan kisah Umar bin Salamah yang ketika itu beliau seorang pemuda.
[Al-Fath: 1927, As-Subul: 4/128-129, Al-Muhalla masalah no. 753 dan Al-Majmu’: 6/355]
10 Pembatal Puasa Dalam Kitab Fathul Qarib
Fathul Qarib atau Fathul Qaribul Mujib
merupakan salah satu kitab fiqh klasik karya ulama pembesar madzhab
Syafi'iyyah yakni Al-Allamah al-Syaikh Muhammad bin Qasim al-Ghazi
(859-918 H). Kitab ini merupakan syarah (penjelas) atas matan kitab
al-Taqrib karangan al-Qadhi Abu Syuja' al-Asfihani.
Kitab yang menjelaskan secara ringkas dan lugas mengenai pokok-pokok
fiqih Syafi'iyyah ini, banyak dikaji di berbagai pesantren sunni seluruh
Indonesia, bahkan didunia semenjak dahulu.
Dibulan Ramadhan ini, ada baiknya kita segarkan kembali mengenai
hal-hal apa saja yang membatalkan puasa sebagaimana yang tercantum
didalam kitab Fathul Qarib. Berikut 10 hal yang membatalkan puasa :
أحدها
وثانيها (ما وصل عمداً إلى الجوف) المنفتح (أو) غير المنفتح كالوصول من
مأمومة إلى (الرأس) والمراد إمساك الصائم عن وصول عين إلى ما يسمى جوفاً
(و) الثالث (الحقنة في أحد السبيلين) وهو دواء يحقن به المريض في قبل أو
دبر المعبر عنهما في المتن بالسبيلين (و) الرابع (القيء عمداً) فإن لم
يتعمد لم يبطل صومه كما سبق. (و) الخامس (الوطء عامداً) في الفرج فلا يفطر
الصائم بالجماع ناسياً كما سبق (و) السادس (الإنزال) وهو خروج المني (عن
مباشرة) بلا جماع محرماً كان كإخراجه بيده أو غير محرم كإخراجه بيد زوجته
أو جاريته واحترز بمباشرة عن خروج المني بالاحتلام فلا إفطار به جزماً (و)
السابع إلى آخر العشرة (الحيض والنفاس والجنون والردة) فمتى طرأ شيء منها
في أثناء الصوم أبطله
"(1) Masuknya benda kedalam tubuh dengan sengaja melalu lubang yang terbuka (mulut, hidung, dan lain-lain), atau (2) melalui
jalan yang tertutup, seperti benda yang masuk ke otak melalui kepala.
Yang dikehendaki dalam hal ini adalah bahwa orang yang berpuasa mencegah
sesuatu yang bisa masuk kedalam anggota tubuh. (3) Mengobati orang yang sakit melalui dua jalan (qubul dan dzubur). (4) Muntah dengan sengaja, namun apabila tidak disengaja maka puasanya tidak batal. (5) Bersetubuh dengan sengaja. Namun tidak batal apabila lupa (kalau sedang puasa). (6)
Keluar mani karena bertemunya dua kulit (antara laki-laki dan
perempuan) walaupun tanpa berjima’. Diharamkan apabila mengeluarkannya
dengan tangan, namun tidak diharamkan seumpama dikeluarkan dengan tangan
istrinya atau budaknya (tapi tetap batal). Pengarang kitab (mushannif)
telah memisahkan apabila keluar mani disebabkan karena mimpi maka itu
tidaklah batal. (7) Haid, (8) Nifas, (9) Majnun (gila), (10) Murtad. Maka, apabila salah satu dari yang disebutkan itu terjadi, batallah puasa seseorang.”
Disamping 10 hal yang membatalkan puasa diatas. Ada juga hal-hal lain
yang membatalkan pahala puasa. Pembatal pahala puasa ini patut di
cermati, agar puasa yang dilakukan tidak hanya memperoleh lapar dan
dahaga saja. Sebagaimana yang pernah disabda Nabi Muhammad Shalallahu
'Alayhi wa Sallam :
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ
"Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali hanya lapar” (HR. Ibnu Majah)
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ
“Betapa ada orang yang berpuasa yang didapat daripuasanya hanya lapar saja” (HR. Al-Hakim)
Maksud dari ungkapan hadits tersebut adalah tidak ada pahala puasa
baginya, namun taklif (beban) kewajiban puasa baginya gugur. Imam
Al-Ghazali pernah mengatakan bahwa hal itu terjadi karena orang yang
puasa ketika berbuka dengan perkara yang haram, atau berbuka disertai
melakukan ghibah, atau orang tersebut tidak menjaga anggota badannya
dari perkara-perkara dosa.
Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda :
من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan
ucapan yang zuur (buruk) dan mengamalkannya, maka tidak ada hajat bagi
Allah dalam hal ia meninggalkan makannya dan minumnya (yakni Allah tidak
butuh pada puasanya)” (HR Al-Bukhari)
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ
“Puasa adalah perisai, maka janganlah
seseorang berbicara kotor dan jangan pula bertindak bodoh. Jika ada
seseorang menggangumu atau mencacimu, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku
sedang berpuasa” dua kali”. (HR. Bukhari)
Dari hadits diatas, perkara-perkara yang buruk menjadi sebab batalnya
pahala puasa. Maka, wajar saja jika ulama juga membawakan riwayat yang
jika ditinjau dari sisi sanadnya memang perlu dikaji ulang, sebagian
mengatakan dloif, namun jika ditinjau dari sisi matannya adalah shahih,
sebab tersebut memang hal-hal yang membatalkan pahala puasa. Riwayat
tersebut adalah;
خمس يفطرن الصائم الكذب والغيبة والنميمة واليمين الكاذبة والنظر بشهوة
“5 hal yang merusak puasa seseorang (maksudnya merusak pahala puasa seseorang), yakni :
1. Bohong
2. Ghibah (gosip)
3. Namimah (mengadu domba)
4. Bersumpah palsu
5. Memandang dengan syahwat”.
Riwayat diatas terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumuddin Al Ghazali, dan
beberapa kitab fiqih juga menyebutkan riwayat senada dengan diatas,
seperti Mughni Muhtaj dan lain sebagainya.
Namun, hal yang merusak pahala puasa tidak hanya itu, sebab perkara
yang tidak baik itu banyak. Seperti berbicara kotor (jorok), bertikai,
dan lain sebagainya. []
Wallahu A’lam
Oleh : Abdurrohim
(Sumber: http://www.madinatuliman.com/3/2/458-10-hal-yang-membatalkan-puasa-dalam-kitab-fathul-qarib.html)